Selasa, 18 April 2017

Malam Terakhir

Malam terakhir, untuk Aku dan Alex.
Aku adalah tipe orang yang sangat pelupa. Aku sering sekali melupakan banyak hal, Aku sering sekali lupa dimana aku menaruh ponsel ku, dimana menaruh kacamata ku, aku sering lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru ku, aku sering lupa akan janji-janji ku dengan teman ku untuk jalan-jalan bersama, dan lebih parah nya lagi, aku sering lupa mensleting rok sekolah ku, dan masih banyak hal lainnya yang aku lupakan. Tetapi aku tidak akan lupa pada kejadian itu. Semua kejadian yang terjadi pada malam itu, aku tidak akan melupakan setitik kejadian yang terjadi pada malam itu. Aku berjanji tidak akan melupakan nya, tidak akan.
Sabtu siang di musim dingin, Aku tidak akan lupa bagaimana alex (sahabat dekat ku) mengajak ku pergi ke Taman Hiburan pada malam hari, dia bilang, dia bosan berada didalam rumah selama musim dingin. “Aku hampir seperti beruang yang sedang berhibernasi selama musim dingin, kau tahu?” Katanya, dan aku pun tertawa mendengar penjelasan sahabat dekatku. “Lagipula tidak baik berdiam diri dirumah terus pada saat musim dingin.” Lanjut Alex, Karena kebetulan aku pun merasakan hal yang sama, dan aku pun menyetujui ajakan Alex.
Dan ternyata, Alex sudah menjemputku terlebih dulu. Dan aku membukakan pintu untuk Alex, untuk menunggu di dalam rumah, karena suasana diluar sangat dingin. Aku membetulkan posisi kacamata ku sambil menyengir, “Baru bangun, maaf hehe.” Kataku. Biasanya, Alex akan menggeretu kesal jika aku mengatakan hal itu. Namun kali ini tidak, lelaki itu tersenyum, senyumnya pun berbeda, ada sesuatu dibalik sana. Sesuatu yang membuat ku menjadi bingung, astaga, ada apa ini?
“Aku tahu bagaimana dirimu kawan” canda Alex. “Ayo segeralah kita berangkat, Taman Hiburan akan tutup jam sepuluh.” Aku tidak akan pernah lupa ketika Alex menggenggam telapak tanganku, sentuhan nya begitu hangat. Aku tidak berontak, malah aku menjadi lebih merasa nyaman. Kemudian, perasaan aneh itu menjalar dalam hatiku lagi. Ada yang aneh dengan pria di sampingku. Tapi apa? Belum mendapat jawaban, Aku cepat-cepat menepis perasaan tersebut, membuangnya jauh-jauh.
Udara dingin amlam itu, Jalanan dan atap-atap bangunan tertutup dengan salju putih. Keduanya sampai di Taman Hiburan. Kebetulan, letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya menempuh waktu sepuluh menit untuk sampai kesana dengan berjalan kaki. “Tak kusangka akan seramai ini.” Dengus Alex, sebuah uap keluar dari mulut Alex ketika ia berbicara. Ia mengedarkan pandangan nya ke seluruh penjuru Taman Hiburan, banyak sekali anak-anak disana. Dan juga beberapa anak muda seumuran dengan mereka, “Padahal malam ini sangat dingin. Anak-anak tak pernah kenal waktu untuk bermain.” Ujar Alex lagi.
Aku terkekeh pelan,”Sudahlah kita sudah sampai disini, apa boleh buat? Dasar tukang menggerutu.” Kata ku sambil cengengesan, “sialan kau.” Cibir Alex. “Oke, mau main apa kau bocah manis?” “Aku bukan bocah, ya. Bagaimana jika—“ “ide bagus! Ayo ke game center!” potong Alex dengan bersemangat. Aku tidak akan melupakan ketika Alex melepas genggaman tangannya yang hangat kemudian meninggalkan ku pergi menuju game center dengan sangat antusias. Rasa hangat di tangannya lenyap dengan perlahan. “Heh, aku belum selesai bicara bodoh!” seru aku sebal, lalu segera menyusul Alex yang tengah asik bermain game.
Tidak ada yang aneh dengan sahabat dekatnya, mungkin tadi hanya perasaan ku saja. Alex baik-baik saja. John Alex adalah pria menjengkelkan dan maniak game seperti biasanya. Dalam hati, aku tersenyum lega. Aku tidak akan pernah lupa, ketika aku berdiri bosan disebelah Alex yang sedang asik bermaingame, sembari berteriak-teriak seperti orang gila. Aku tidak akan lupa celotehan Alex ketika ia menyelesaikan permainanya tersebut dengan poin yang sangat tinggi.
That was awesome! Lain kali aku harus mengajak Dery kesini.” Ucap Alex sambil meregangkan otot-ototnya yang tegang sehabis bermain permainan-permainan yang bagi diriku tidak sama sekali menarik. “Dan lain juga kau juga tidak perlu mengajakku datang kembali kesini.” Sahut ku, sebuah uap juga muncul mulutku. Alex malah tertawa. “Maaf, maaf. Habis, permainanya terlalu seru sampai aku mengabaikan mu.” Alex tersenyum. “Mau main apa? Claw machine? Mandi bola? Jungkat-jungkit? Ayunan? Aku bias mendorongmu keras-keras kalau kau mau.” Alex langsung mendapatkan pukulan di lengannya setelah mengatakan hal tersebut. “Ku kira aku anak umur lima tahun?!” Protes ku. Aku tidak akan pernah melupakan suara tawa renyah Alex yang bias membuatku tersenyum ketika mendengar tawanya.
“Aku pandai bermain Claw Machine, Aku pernah mendapatkan boneka besar saat kesini bersama adikku. Kau mau mencoba?” Tawar Alex. Aku memutar bola mata dan menghela nafas “Baiklah, baiklah akan kucoba.” Aku tidak akan pernah melupakan mata berbinar Alex ketika ia menatap banyak sekali bentuk, warna, dan rupa boneka dari balik kotak yang berdiri kokoh itu, itu Claw Machine yang dimaksud Alex. “Mau yang mana, nak?” Tanya Alex setengah bercanda. Ia sudah bersiap-siap meneka-nekan tombol yang terdapat pada box game itu. “Boneka apa saja, Ayah!” Jawab ku, sambil bercanda juga dengan suara yang dibuat menggemaskan. “Okay! Here we go, kids!” Seru Alex, Dan kemudian penjepit dalam box tersebut mulai bergerak. Bergeser ke kanan, mundur sedikit ke belakang, lalu bergerak pelan untuk turun. Alex menatap benda itu seksama, Sementara aku, aku malah sibuk menatap wajah Alex yang tampak sibuk dengan box itu. Malam ini, pria itu mengenakan sweater biru dongker dan juga celana jeanspanjang. Ditambah dengan rambut yang hitam melekat terlihat lembut dan berkilau. Tnpa sadar, Aku pun tersenyum tipis.
Namun, tiba-tiba perasaan aneh itu menyelimuti hatinya kembali. Mengusik benaknya lagi, Senyum nya pudar seketika. Aku bahkan tidak dapat mendefinisikan perasaannya tersebut dengan kata-kata. “Dapat!” Pekik Alex senang. Aku tersadar dari lamunanku. Aku melirik sebuah papan kecil dibagian atas box tersebut menuliskan “Congratulations!” dengan sebuahemoticon tersenyum disampingnya. Lalu mata ku beralih pada sahabatku, Aku tidak akan melupakan saat Alex tengah tersenyum lebar dan puas sambil menunjukan boneka yang baru saja ia dapati. Sebuah boneka bear yang tengah tersenyum.”Ini Lotso dari Film Toy Story!” Teriaknya girang. Aku juga berjanji tidak melupakan teriakan tersebut. Teriakan yang nyaris membuatnya memeluk pria itu karena gemas, kalau saja aku tidak ingat kalau kita sedang berada di tempat umum.
Alex adalah pria terbaik yang pernah Aku kenal. Dia selalu ada untukku, kapanpun dan dimanapun. Alex lah satu-satunya orang yang paling bias mengertiku. Alex memberikan boneka yang baru saja ia dapati pada Aku. Alex berkata seraya tersenyum tulus,”Buatmu saja. Untuk kenang-kenangan.” Aku meraih boneka tersebut lalu memandanginya untuk beberapa saat. Yah, kenang-kenangan berupa boneka Lotso yang sedang tersenyum bukan lah hal yang buruk. Ya, Bukan. Lagi-lagi perasaan aneh itu muncul untuk kesekian kalinya. Demi Tuhan, Apa yang membuatku seperti ini?!”
“Mau main apa lagi?” Tanya Alex, suaranya yang lembut seolah menggelitik telinga ku. Aku menatap Alex. Dan sesuatu seakan berdesir hebat di dalam rongga dadaku ketika aku mendapati Alex yang tengah menatapku. Dengan tatapan yang tampak berbeda dari biasanya, apa yang terjadi?. “Apa ya?” Aku malah balik Tanya. “Terserah kau saja.” Kataku pasrah. Aku tidak akan melupakan wahana-wahana yang mana saja yang telah kita coba pada malam itu. Aku berjanji tidak akan pernah melupakannya. Setelah mencoba beberapa wahan yang sebagian besar adalah pilihan John Alex, kita pun memutuskan untuk mengakhiri acara jalan-jalan kita dengan menaiki bianglala yang sangat besar itu. Lagipula, malam sudah begitu larut dan taman hiburan akan segera tutup.
Bianglala nya mulai berputar perlahan. Aku dan Alexyang duduk berhadapan menatap ke luar jendela yang terdapat pada sisi bianglala. Lalu aku memandang boneka Lotso ditangan ku. Hening menyelimuti kita berdua. Pandangan Alex masih belum lepas dari pemandangan luar jendela tersebut, sedangkan aku masih mengamati boneka ku. “hmm..” dehem Alex pelan. Aku mendongak, mengalihkan pandangan ku dari boneka yang tengah aku pegang. Alex tidak melihat ku, ia masih menatap luar jendela. “Apa?” tanyaku. Aku pun masih menunggu jawaban dari Alex, namun pria itu malah terdiam. Dia diam cukup lama, Aku pun heran melihatnya. “Alex?” panggilku, Alex tidak menoleh. “Aku sahabatmu kan?” Tanya Alex tiba-tiba. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Aku menyengir, Ekspresinya antara bingung dan seolah mengatakan ‘apa-yang-sedang-kau-bicarakan-bodoh’
“Hei, ada apa dengan mu? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?” Aku bertanya sembari terkekeh. Dia kira, Alex sedang bercanda. “Aku sahabatmu kan?” Tanya Alex lagi. Kali ini pertanyaannya terdengar begitu menuntut untuk dijawab. Aku menatap pria itu penuh tanda Tanya. “Tentu saja—tidak. Hahahaha.” Aku berusaha mencairkan suasana dengan canda tawaku. Namun, ketika menyadari tidak ada reaksi dari Alex, aku segera berhenti tertawa. “Maksudku, ya, tentu saja.” Ujar ku serius. “Kenapa?” Tanyaku. Alex terdiam sejenak.
“Sahabat akan selalu bersama-sama bukan?” Tanya Alex lagi. Aku pun terdiam. “Y-ya.” Jawabku singkat. Bianglala yang kita tumpangi terus berputar, posisi kita semakin keatas. Alex mengalihkan pandangannya pada ku. “But,” Kata-katanya terputus, mungkin ia memang sengaja melakukan nya. “How if someday I’ll go and never comeback again?” Bibir ku terkatup rapat. Aku tidak tahu harus bilang apa. Tiba-tiba perasaan itu datang kembali, Perasaan aneh itu mengusik hati ku lagi. Dan kemudian, berubah menjadi firasat buruk, Mengapa Alex tiba-tiba menanyakan hal itu kepadaku? Atau jangan-jangan—Ya Tuhan! Apa yang aku pikirkan?! Aku langsung mengusir firasat buruk dan pikiran-pikiran aneh tentang Alex.
Masih hening dan tak ada yang bicara. Posisi kita tengah di puncak bianglala sekarang. Di arah jam dua belas tepat, dan bianglala nya berhenti untuk beberapa saat. Disaat yang bersamaan, kita saling bertatapan. Alex memberikan tatapan penuh arti padaku dengan matanya yang teduh dan bersinar. Ya, matanya yang teduh dan bersinar. Bagi ku, itulah hal yang paling menarik dari John Alex. Aku tak tahan menatap iris Alex terus-menerus, aku bisa meleleh entah kenapa tatapannya begitu hangat ditambah dengan suhu udara semakin mendingin malam itu. “I don’t know, Alex.” Jawab ku pelan sambil mengamati boneka di tangan ku. “Karena sebelumnya aku belum pernah berfikir bahwa kau akan pergi meninggalkanku dan tidak akan pernah kembali lagi” Jawab ku masih dengan satu tarikan nafas, dan Alex masih menatapku. “Tapi kalau itu benar terjadi,” Aku mengangkat kepala ku dan menatap Alex “Mungkin aku adalah orang yang paling menderita karena kepergianmu.”
Alex terdiam, tidak menanggapi. Ia tenggelam dalam pikirannya, begitupula dengan ku. Dalam hati, Ya Tuhan, Kenapa tiba-tiba suasananya menjadi melankolis seperti ini? Tak lama kemudian, seutas senyum lebar muncul diwajah Alex. Menampakan deretan giginya yang rapi. Wajahnya berubah 180 derajat, ia tampak ceria lagi. “Woow, wow,wow. Santai, kawan. Tak perlu serius tentang pembicaraan kita tadi. Wajahmu begitu tengang, kau tahu? Hahahaha.” Alex menepuk bahu ku sambil tertawa. “Ngomong-ngomong terimakasih sudah menjadi sahabatku selama ini, oke?” Lanjutnya, Aku masih sedikit canggung dengan perubahan suasana yang sangat amat drastik ini. “Ya, aku juga.” Jawab ku pada Alex dengan tersenyum simpul. Aku tidak akan pernah lupa ketika Alex mendekatkan wajahnya padaku sehingga aku bisa  merasakan hembusan nafas hangat pria itu. Aku lekas memenjamkan mataku, berjaga-jaga jika sesuatu akan terjadi. Namu sayangnya, sesuatu itu tidak benar-benar terjadi. Aku yakin wajahku berubah menjadi seperti kepeting rebus. Tunggu, apa? Alex terkekeh geli. “Kaca mataku berembun, tahu.” Kataku setelah mengelap kacamata. Alex menatapku, Tapi tatapan nya berbeda. Itu tatapan genit sekaligus jahil yang terkontaminas dengan niat kurang ajar. Aku menelan ludah. Pada akhirnya, yang terakhir kali ini Aku ingat adalah Alex memiringkan kepala dan kemudian mata indah Alex tampak amat sangat dekat, tepat berada di depan mataku yang terbelalak kaget. Aku tidak akan pernah lupa ketika Alex mencium ku malam itu.
-      Malam terakhir -
Jam telah menunjukan pukul setengah sepuluh. Jalanan yang tertutup salju sudah sangat sepi. Malam sudah begitu larut. Langit diterangi cahaya bulan—yang masih menggantung diatas langit. Lampu-lampu didalam rumah-rumah yang berjajar dipinggir jalan tampak sudah dimatikan. Toko-toko pun sudah tutup. Mungkin orang-orang sudah terlelap damai dibawah selimut tebal, menyelamatkan mereka dari udara yang sangat amat dingin. Aku dan Alex sudah pulang dari taman hiburan. Kita berjalan menyusuri jalanan khusus pejalan kaki dengan tampang lelah. Aku mengamati Lotso untuk kesekian kalinya. Entah kenapa aku tidak bosan-bosannya melihat tampang sejenis beruang itu. Detik berikutnya, kejadian di dalam bianglala itu teringat kembali, Tetapi berkat Alex semua bayangan itu berhasil di lenyapkan. Sirna dalam sekejap. Bagi ku Alex istimewa. Alex yang menjengkelkan dan maniak gameadalah orang yang istimewa. Alex sudah dekat denganku semenjak kita duduk dikelas satu Sekolah Menengah Pertama. Itu berarti, kita sudah bersahabat kurang lebih empat tahun. Dan sejauh ini, hanya John Alex yang selalu ada kapanpun dan diamana pun aku berada.
Bagaimana jika suatu hari nanti John Alex akan pergi dan tidak akan pernah kembali lagi? Berikutnya, Perasaan aneh dan firasat buruk itu datang lagi setelah berulang kali aku berusaha untuk mengusirnya. Entah mengapa, perasaan tersebut membuat dadaku bergemuruh hebat. Firasat buruk itu membuat pikiranku kalut. Apa mungkin Alex akan benar-benar pergi dan tidak pernah kembali lagi? Perasaan aneh dan firasat buruk itu membuat ku menjadi takut. Aku melirik Alex yang sedang berjalan disampingku. Ada yang salah dengan pria itu. Alex tampak was-was dan gelisah. Sesekali ia menoleh ke sebelah kiri, ke jalanan sepi diseberang sana. Aku mengikuti pandangan Alex. Tak ada yang mencurigakan sepertinya. Hanya seseorang wanita gemuk berumur sekitar 30-an yang baru keluar dari  club malam. Wanita gemuk itu berpakain ketat dengan warna merah mencolok berjalan menyusuri jalan yang bersebrangan dengan ku sambil menenteng tas yang tampak mahal. Tidak ada satu kendaraan pun yang melintas. Alex masih terlihat gelisah. Aku tahu pasti ada yang salah. “Alex?” panggil ku. Alex menoleh, tampangnya tidak beres. “Ya?” sahut Alex. “Kau baik-baik saja?” Tanya ku khawatir. Perasaan itu masih bergejolak didalam hatiku,walaupun aku tengah berusaha mengabaikannya.

Alex tersenyum. “Ya tentu saja.” Katanya. Lalu ia beralih memandang wanita itu “Tetapi wanita itu, tidak.” Lanjut Alex. Aku juga memandang wanita gemuk itu dengan dandanan yang sangat menor. “Maksudmu?” tanyaku. Arah mata Alex menuju ke sebuah took yang telah tutup dan gelap, sesosok pria berdiri disana, sembari menghisap rokok. Tak jauh di depan wanita gemuk itu berjalan. “kau tahu maksudku.” Bisik Alex ketika Aku memperhatikan hal yang sama. Kekalutan di pikiran ku semakin parah, begitu juga ditambah dengan gejolak dihatinya. Ditambah lagi ketika ia mendapati dua orang pria dengan motor besar dibawah sebuah pohon besar berada tak jauh dari seberang. “Alex, tidak.” Ucap ku. Alex menoleh dengan wajah tetap tenang, namun masih menyiratkan kegelisahan. Kita berhenti melangkah. “Tidak, sesuatu yang buruk akan terjadi.” Jawabnya,lalau mengalihkan kembali pandangannya. Sosok wanita tersebut semakin dekat dengan pria yang tengah menghisap rokok dimulutnya. “Aku tahu, But please don’t,Alex.” Aku menatap Alex cemas setelah melirik dua pria besertamotornya yang tengah memperhatika kita berdua. Beberapa langkah lagi sebelum wanita itu tepat lewat dihadapan pria berjaket hitam itu.”No, I must.” Alex hendak menyebrang namun Aku menahan lengannya. Alex segera menoleh kearah ku, menatapku, mencoba meyakinkan ku. Sementara aku menatap Alex dala-dalam, cemas. “I’ll be alright, okay?” “Tapi, Alex—“ Namu sebuah teriakan menginterupsi kita berdua. “KYAAAAA!!” Alex tidak mempedulikan ku, Dugaanku benar. Ia segera berlari mengejar pria berjaket hitam yang telah berhasil membawa pergi tas wanita gemuk tadi. Alexbisa mendengar suara ku yang tengah meneriakkan namanya. Tapi Alex terus berlari sekuat tenaga. Ia harus mendapatkan kembali tas wanita itu, harus. Sementara wanita gemuk itu tampak syok dan panik. Ia terus saja berteriak. Aku tidak tahu harus apa. Gejolak dalam dadaku semakin dahsyat. Pikiran kalut bukan main, bercampur dengan perasaan takut, khawatir, dan juga firasat buruknya. Kacau. Pertanyaan Alex tentang bagaimana jika suatu hari ia akan pergi dan tidak pernah kembali lagi terngiang-ngiang di telinganya, suara Alex ketika menanyakan hal itu pun menghantui indra pendengaranku. Aku hampir meledak karenanya. Ia menggenggam erat—bukan, meremas Lotso yang ada di tangannya. Ya Tuhan, apa maksud semua ini?!
Alex terus mengejar pria brengsek itu. Dalam hati ia menyumpahi laki-laki yang berlari tak jauh di depannya. Alex terus meningkatkan kecepatan berlarinya. Kakinya pegal, nafasnya mulai tersengal, namun Alex tidak peduli. Yang ada di otaknya adalah menangkap-pria-itu-atau-bahkan menghajarnya-lalu-mengambil-kembali-tas-hasil-curian-tersebut. Hanya terpaut beberapa meter di belakang si brengsek itu, dan Alex semakin mempercepat larinya meskipun nafasnya sudah tak beraturan.
Dua orang pria yang Aku lihat—dengan tidak begitu jelas karena gelap—tengah duduk di atas motornya di bawah sebuah pohon besar tadi memakai helm mereka. Menyalakan mesin motornya dan mulai mengendarainya menuju ke arah yang sama dengan arah Alex mengejar pria berjaket hitam tadi.
Lalu entah dorongan darimana, kaki melangkah melangkah begitu saja. Berlari mengikuti dua buah motor yang melaju dengan cepat itu. Alex salah. Alex tidak akan baik-baik saja. Alex benar-benar salah.
Alex  terus berlari tanpa mempedulikan kakinya yang sudah tak dapat diajak kompromi lagi. Paru-parunya seakan mengering. Tetapi jarak yang begitu dekat dengan si brengsek itu, membuatnya tidak berniat untuk berhenti dan membiarkan pria itu mendapatkan tas si wanita gemuk.
Dan, pada akhirnya.. Alex berhasil meraih lengan si penjahat. Pria itu berontak. Di saat yang bersamaan, suara mesin sepeda motor terdengar keras dari belakang.
Alex terlibat aksi kekerasan dengan pria brengsek tersebut, lalu ketika si pria sialan tersebut mendapati kawannya ada di belakang sana. Dia menyeringai lebar, dan memberi Alex sebuah pukulan tepat di wajahnya. Sebuah pukulan telak bagi Alex yang sama sekali belum berniat untuk menyerah.
“Menyerahlah, bocah baik. Kau dalam bahaya.” Seringaian jahat di wajah pria brengsek itu membuat Alex ingin sekali menghajarnya habis-habisan. Namun belum sempat ia membalas pukulannya pria itu sudah berhasil kabur dan sebuah suara mesin sepeda motor yang bising tepat di belakangnya membuat Alex reflek menoleh ke belakang.
Selanjutnya, yang terakhir kali ia ingat ialah sebuah cahaya lampu menyilaukan matanya kemudian sesuatu yang dingin dan tajam menyentuh lehernya.
Saat itu juga, waktu seakan berhenti bagi ku yang berada tak jauh dari tempat Alex berpijak. Perlahan tapi pasti, larinya melambat dan kemudian berhenti. Boneka Lotso pemberian Alex yang sedari tadi ia pegang dengan erat sembari berlari, terjatuh. Terjatuh menimpa jalanan yang tertutup salju. Tenggorokan ku tercekat. Aku mematung. Akhirnya, aku mendapat jawaban dari perasaan aneh ketika aku pertama kali bertemu dengan Alex di halaman rumahnya tadi, Aku mendapat jawaban dari pertanyaan Alex ketika kita berdua berada di dalam biang lala, aku mendapat jawaban dari firasat buruknya.
Alex ambruk seketika.
Kedua kaki ku melemas, aku juga turut jatuh seperti Lotso. Tubuh yang ditopang oleh kedua lututnya terasa amat sangat berat. Lalu bulir-bulir bening keluar dari pelupuk mataku yang tertutup kacamata, mengalir di pipiku perlahan.
Aku menjerit.
“KALIAN BRENGSEK!” Teriakku keras. Suara mesin berisik sepeda motor itu kian menjauh. Cepat-cepat aku mengusap air mata yang mengaburkan pandangannya, dan berusaha untuk setidaknya menghafal satu nomor polisi dari dua buah motor tersebut. Sayangnya tidak bisa, minus pada mataku sama sekali tidak mendukung dan sepeda motor itu semakin jauh dari pandangan.
Maka aku segera bangkit dan berlari menghampiri Alex. Air mataku semakin deras. Aku terisak. Aku tidak akan pernah lupa ketika aku melihat dengan mata kepalanya sendiri darah segar mengalir dari leher Alex, menggenang dan bercampur dengan timbunan salju dingin yang agak tebal. Mataku terpejam, wajahnya lebam dengan sudut bibirnya yang terluka. Alex salah, Alex tidak baik-baik saja seperti yang ia katakan.

Entah sejak kapan, wanita gemuk itu ada di sebelahnya.
“Apa dia mendapatkan tasku? Apa dia mendapatkan tasku?” Tanyanya. Aku langsung menoleh dan menatap tajam ke arahnya.
“DIA AKAN MATI SEKARANG JUGA JIKA DIA TIDAK SEGERA MENDAPAT PERTOLONGAN, IDIOT! KENAPA KAU MASIH MEMENTINGKAN TAS SIALANMU ITU?!”
“Ah, Ya Tuhan, itu darah!” Wanita itu memekik jijik sekaligus takut dengan suaranya yang membuatku ingin melempar wanita itu dengan sepatunya.
“KAU WANITA JALANG! CEPAT PANGGIL POLISI DAN AMBULANS! SEKARANG!” Aku masih panik. Jalanan sepi. Tak ada satupun kendaraan yang melintas dan dapat dimintai tumpangan. Air mata terus mengalir di pipinya, tapi ia sama sekali tak peduli.
“Tapi, ponselku ada di dalam tasku.” Balas wanita itu.
DAMN IT!” Erang ku keras. Aku meraba-raba saku yang ada di rokku, sialan, aku juga lupa membawa ponsel. Untuk pertama kalinya, Aku membenci sifat ku yang pelupa itu, aku merutuk dalam hati. Cepat-cepat, aku meraba saku celana Alex, mencari keberadaan ponsel Alex, dan akhirnya aku mendapatkannya.
Aku selalu jadi penolongnya kapanpun dan dimanapun.
Aku segera menghubungi nomor ambulans. Tangan Alex bergetar. Sedangkan teleponnya masih belum tersambung.
“Bertahanlah, Alex. Kumohon.” Gumam ku. Rasanya aku ingin memeluk Alex dengan erat, tapi tidak ada waktu untuk itu.
Aku tak ingin kehilangan Alex. Aku tidak ingin Alex pergi, untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi.
Kemudian teleponnya tersambung.
-Malam Terakhir -
Jalanan yang tadinya sepi mendadak menjadi ramai . Dua buah mobil polisi terparkir di salah satu sisi jalan tersebut. Belasan orang yang terbangun dari tidur mereka berkumpul di sekitar lokasi kejadian karena rasa penasaran mereka yang tinggi. Beberapa polisi tengah mengolah tempat kejadian perkara. Sosok wanita gemuk tadi tengah berperan sebagai saksi sekaligus korban, seorang pria tinggi berseragam polisi tampak sedang memberinya beberapa pertanyaan.
Sementara itu, lima belas menit terasa begitu lama bagi ku. Jangankan lima belas menit, sedetik saja aku tidak bisa tahan. Setelah ambulans beserta polisi datang, Alex langsung dilarikan ke rumah sakit, ke Unit Gawat Darurat.
Aku berada di luar ruangan, menunggu dengan gelisah. Alex berada di dalam sana, beserta seorang dokter yang menanganinya. Kedua orang tua Alex juga ada bersamanya setelah aku memberitahu mereka melalui telepon. Mereka berdua tampak begitu khawatir. Ibu Alex tidak dapat menahan tangisnya. Sedangkan sang Ayah terdiam, termenung dengan wajahnya yang cemas bukan main. Adik Alex berdiri di samping ku yang duduk di lantai dengan tubuh bersandar di dinding lorong yang sepi dan kekurangan penerangan itu. Lotso ada di tangannya, Aku nyaris melupakan boneka itu beberapa waktu lalu. Boneka pemberian Alex yang—entah hanya perasaan ku atau memang cengiran di wajah boneka itu berubah menjadi senyum sedih.
Tak banyak yang bisa aku lakukan. Hanya menunggu dan berdoa. Berharap agar Alex baik-baik saja, dan dia bisa melihat kembali senyum lelaki itu. Aku merasa diriku kacau balau. Baik pikiran, maupun hatinya. Aku melihat semuanya terjadi begitu cepat dengan mata kepalanya sendiri. Orang brengsek itu melukai leher Alex dengan benda tajam. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya ketika benda tajam itu mengenai lehernya, ditambah si pelaku melakukannya sembari mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Perlahan, kristal bening jatuh dari matanya. Kalau Alex tidak mengejar pria berjaket hitam itu, hal ini tidak akan pernah terjadi. Kalau Alex tidak berniat untuk mengambil kembali tas wanita jalang yang tak tahu diri itu, dia pasti akan baik-baik saja. Kalau Alex bukan orang yang sebaik itu, Alex tidak akan terluka.
Ketika aku memejamkan mataku dan membiarkan tetes demi tetes air mata ku mengalir di pipi, otakku seolah memutar kembali segala kenangannya bersama Alex. Saat pertama kali aku bertemu dengan lelaki itu, saat Alex dan diriku menjadi semakin akrab dari hari ke hari, saat kita berdua melakukan hal konyol bersama, saat kita dihukum membersihkan toilet bersama, saat Alex menjenguk diriku ketika aku sedang terserang tifus, saat Alex mengajakku pergi ke taman hiburan, saat Alex menggenggam tanganku, saat Alex berteriak-teriak seperti orang gila ketika bermain di game center, saat Alex tersenyum bangga dan puas ketika ia berhasil mendapatkan Lotso, saat kita berdua menaiki hampir semuah wahana di taman hiburan dengan gembira, hingga saat Alex menciumku di dalam biang lala.
Aku harap Alex baik-baik saja. Aku harap Alex tidak apa-apa. Aku harap, Alex tidak akan pergi dan tidak pernah kembali lagi. Aku tidak ingin kehilangan sosok Alex yang selalu ada untuku. aku tidak ingin kehilang senyum Alex, aku tidak ingin kehilangan suara Alex, aku tidak ingin kehilangan semua yang ada pada Alex, Aku tidak ingin Alex pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Lalu sang dokter keluar. Semuanya menatap pria berjas putih itu penuh harap.
“Maaf,” Isi perut ku berputar. “Tapi dia kehilang begitu banyak darah, dan kami sudah berusaha semaksimal yang kami bisa. Nyawanya tak tertolong lagi.”
Kemudian semua harapan itu luruh begitu saja. Tangisan orang-orang yang ada di sana pun pecah.
Alex dimakamkan pada minggu sore yang tenang dan dingin dalam balutan luka dan duka yang amat mendalam. Teman-teman sekelas Alex datang, adik kelas maupun kakak kelas  juga datang. Kerabat dekat dan keluarga Alex, Guru-guru Alex para tetangga, rekan kerja Ayah Alex, orang tua dari teman-teman adik Alex, beberapa teman Sekolah Dasar dan juga Sekolah Menengah Pertamanya, dan bahkan, wanita gemuk yang Alex tolong, juga menghadiri upacara pemakaman lelaki itu.
Lelaki baik yang tengah terbaring tenang di dalam petinya.
Semuanya nampak sedih, bahkan beberapa dari mereka menangis dengan keras. Namun di antara seluruh tamu, Aku lah yang paling terpukul.
Aku benar. Aku adalah orang yang paling menderita dan tersiksa karena kepergian Alex. Dan Alex benar, dia betul-betul pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Tidak akan.
Aku tidak akan pernah lupa ketika aku terakhir kali melihat sosok John Alex dengan balutan jas hitam di dalam peti yang terbuat dari kayu itu, pria itu seolah tersenyum. Kulitnya tidak lagi eksotis, tapi putih pucat. Aku tidak akan pernah lupa ketika aku menggenggam tangan Alex yang dingin, dan mengucapkan selamat tinggal untuknya. Untuk terakhir kalinya.
“Selamat tinggal, John Alex.” Ucapku. Menatap mata Alex yang terpejam. “Semoga kau tenang di sana, kawan.” Lanjut ku, aku tersenyum sendiri. Berusaha tampak baik-baik saja, namun jauh di dalam hatiku, rasanya perih, sakit, dan pahit menjadi satu.
Aku masih menatap mata Alex yang tertutup rapat.
“Aku—” Aku sedikit ragu untuk mengatakannya. “Aku mencintaimu.” Kataku pada akhirnya.
-Malam Terakhir -
Aku mungkin akan tetap menjadi orang yang pelupa seumur hidup. Aku mungkin akan tetap menjadi orang yang sering lupa dimana aku meletakkan kacamata padahal kacamata itu ada di atas kepalaku, orang yang sering lupa dimana aku meletakkan ponselnya padahal benda itu tergeletak damai di bawah bantal, orang yang sering lupa mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas yang diberikan oleh guru, orang yang sering lupa janji dengan teman-teman untuk kerja kelompok atau berjalan-jalan, Tetapi, Aku telah berjanji pada diriku sendiri, pada Tuhan, pada Alex, dan bahkan pada Lotso untuk tidak akan pernah melupakan semua kejadian yang telah terjadi pada hari Sabtu itu. Semua kejadian pada Sabtu malam itu, beserta runtutannya, beserta setiap detailnya. Aku bersumpah tidak akan melupakannya seumur hidupku. Tidak akan.
Hari ini adalah hari ketiga setelah Alex pergi dan tidak akan pernah kembali lagi seperti yang lelaki itu katakan. Alex dimakamkan di samping makam Kakek dari Ayahnya. Dan Aku berniat untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhirnya di sore yang bersalju itu, bersama Lotso.
Aku menatap gundukan tanah yang sedikit tertutup salju itu. Lotso ada dalam dekapannya. Aku berlutut, menaruh sebuket bunga di atas makam Alex.
“Hai, Alex.” Sapa ku, mengelus nisan bertuliskan: “John Alex.”
“Apa kabar, kawan?” Tanya ku. “Kuharap kau baik-baik saja di sana.” Sambung ku.
Tak ada jawaban, tentu saja.
“Kau tahu? Sebenarnya, aku punya satu kabar baik dan satu kabar buruk untukmu.” Ujar ku, seolah sosok Alex benar-benar ada di hadapanku.
“Kabar baiknya,” aku berdehem. “Surat kabar hari Minggu lalu mengatakan bahwa bajingan-bajingan yang telah membuatmu begini, sudah berhasil ditangkap oleh polisi. Ternyata mereka adalah buronan polisi sejak bulan lalu. Kau hebat, Alex!” Cerita ku dengan bersemangat. Aku yakin Alex bisa mendengarku dari sana. Hening.
“Dan kabar buruknya, Alex,” Aku memandang Lotso yang tampak hangat di dalam dekapanku. Lalu kembali menatap makam sahabat terbaikku tersebut. Aku menghela nafas berat.
“Aku dan Lotso merindukanmu.”

-END-

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nurul Maulidina Kelana Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang